Rencana pernikahan
Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri
tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang
seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara. Menurut catatan sejarah Pajajaran oleh Saleh
Danasasmita serta Naskah Perang Bubat oleh Yoseph Iskandar, niat pernikahan itu
adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit
dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaituRakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat
dalam Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Meskipun demikian, catatan sejarah Pajajaran
tersebut dianggap lemah kebenarannya, terutama karena nama Dyah Lembu Tal adalah nama laki-laki
Alasan umum yang dapat diterima adalah Hayam
Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik,
yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda.[1] Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit,
Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk
melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di
Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan,
terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang
berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang
kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal
tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan
kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu
di Nusa Tenggara.
Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat
ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua
negara tersebut. Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan
diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Kesalah-pahaman
Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri
dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit. Menurut Kidung
Sundayana timbul niat Mahapatih Gajah Madauntuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada
ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab
dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya
kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.
Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat
alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan
Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada
mendesak Hayam Wuruk untuk
menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk
Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara.
Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut,
mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.
Gugurnya rombongan Sunda
Kemudian terjadi insiden perselisihan antara
utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan
dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa
kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas
Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam
posisi semula.
Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya,
Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan
mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi
mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan
itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan
pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal
kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri
kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya
Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan
Sunda. Raja Sunda beserta segenap pejabat kerajaan Sunda dapat didatangkan di
Majapahit dan binasa di lapangan Bubat
Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka
dengan hati berduka melakukan bela pati, bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa
dan negaranya. Tindakan ini mungkin
diikuti oleh segenap perempuan-perempuan Sunda yang masih tersisa, baik
bangsawan ataupun abdi. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatriya, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh
para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu
diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka,
yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan,
atau diperbudak.
Akibat
Tradisi menyebutkan bahwa Hayam Wuruk meratapi
kematian Dyah Pitaloka. Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan
utusan (darmadyaksa) dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan
antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka - untuk menyampaikan permohonan maaf
kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri
Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya. Raja Hayam Wuruk kemudian menikahi
sepupunya sendiri, Paduka Sori.
Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam
catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang.
Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak
pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan
gegabah. Ia dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan
keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri. Peristiwa yang
penuh kemalangan ini pun menandai mulai turunnya karier Gajah Mada, karena
kemudian Hayam Wuruk menganugerahinya tanah perdikan di Madakaripura (kini Probolinggo). Meskipun tindakan ini nampak sebagai
penganugerahan, tindakan ini dapat ditafsirkan sebagai anjuran halus agar Gajah
Mada mulai mempertimbangkan untuk pensiun, karena tanah ini letaknya jauh dari
ibu kota Majapahit sehingga Gajah Mada mulai mengundurkan diri dari politik
kenegaraan istana Majapahit. Meskipun demikian, menurut Negarakertagama Gajah
Mada masih disebutkan nama dan jabatannya, sehingga ditafsirkan Gajah Mada
sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai akhir hayatnya (1364).
Tragedi ini merusak hubungan kenegaraan antar
kedua negara dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian, hubungan
Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.[1] Pangeran Niskalawastu Kancana — adik Putri
Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit
mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil — menjadi
satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta
menjadi Prabu Niskalawastu Kancana. Kebijakannya antara lain memutuskan
hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam
hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di
kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah
dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh
menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas
sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.
Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda
dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati)
dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja
Lingga Buana dijuluki "Prabu Wangi" (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya.
Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.
Beberapa reaksi tersebut mencerminkan
kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen
yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara
suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara
lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kotaBandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan
jalan bernama "Gajah Mada" atau "Majapahit". Meskipun Gajah
Mada dianggap sebagai tokohpahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda
menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam
tragedi ini.
Hal yang menarik antara lain, meskipun Bali sering kali dianggap sebagai pewaris kebudayaan Majapahit,
masyarakat Bali sepertinya cenderung berpihak kepada kerajaan Sunda dalam hal
ini, seperti terbukti dalam naskah Bali Kidung Sunda. Penghormatan dan kekaguman pihak Bali atas
tindakan keluarga kerajaan Sunda yang dengan gagah berani menghadapi kematian,
sangat mungkin karena kesesuaiannya dengan ajaran Hindu mengenai tata perilaku dan nilai-nilai kehormatan kasta ksatriya, bahwa kematian yang utama dan sempurna bagi
seorang ksatriya adalah di ujung pedang di tengah medan laga. Nilai-nilai
kepahlawanan dan keberanian ini mendapatkan sandingannya dalam kebudayaan Bali,
yakni tradisi puputan,
pertempuran hingga mati yang dilakukan kaum prianya, disusul ritual bunuh diri
yang dilakukan kaum wanitanya. Mereka memilih mati mulia daripada menyerah,
tetap hidup, tetapi menanggung malu, kehinaan dan kekalahan.
